Monday, March 2, 2009

Silahkan Hubungi Kami

Blog ini mendapat kesempatan hijrah ke website tautan, yakni:

website: www.arsimedik.com
weblog: www.BorneoTourismWatch.wordpress.com

Informasi lebih lengkap dapat menghubungi:

Jakarta Arsimedik Studio (JAS)
Metro Permata II C8-86
Tel.021-324 29238
Fax.021-734 40151
Mail: arsimedik at yahoo.com
www.arsimedik.com

Monday, June 2, 2008

MARS PLN


Hi..
berikut merupakan karya saya dan dr.Rose Tan (syair dan aransemen) dalam rangka menyambut dan memeriahkan Visi PLN di tahun 2007 lalu untuk menjalankan program dan target mereka dalam memberikan pelayanan yang terbaik di Indonesia.

Pelantun lagu ini pada saat rekaman adalah Johan Tarigan, mahasiswa ISI Yogya yang multitalented, bersuara emas, pemain flute yang handal dengan ragam alat musik lainnya.

Rekaman dibuat di "Babah Studio", milik seorang mahasiswa kedokteran UGM yang mencintai musik sejak masa kecilnya.

Lagu tersebut sepenuhnya telah menjadi hak milik PLN.
Bagi penyuka musik..Let's march!!

Thursday, May 22, 2008

KEBUDAYAAN & ARSITEKTUR: REFLEKSI 2008 (seri 2)

Berikut file sambungan dari tulisan sebelumnya..

Hal tersebut mau tidak mau mengkaitkan eksistensi manusia dengan kebudayaannya. Di dalam pandangan teologi Reformed Injili, manusia adalah ciptaan tertinggi nilainya di banding ciptaan yang lain. Manusia dicipta oleh Pencipta dengan prinsip penciptaan sesuai peta dan teladan Allah Pencipta (imago Dei). Point krusial inilah yang langsung membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya, yakni adanya unsur beragama dan adanya unsur berbudaya (Tong, 2007). Manusia memiliki kemampuan untuk mencipta sesuatu, berinovasi, berkarya, dan memperkembangkan potensi bahkan lingkungannya secara maksimal. Westminster Confession secara gamblang dan tuntas mengungkapkan bahwa manusia memang dicipta dengan satu tujuan penting yakni untuk memuliakan Allah Penciptanya.

Manusia membangun peradabannya, keluarga membangun klan, suku-suku membentuk sebuah bangsa, dan bangsa-bangsa membangun peradabannya masing-masing.

Sejarah kemudian membeberkan satu fakta penting, manusia yang dicipta baik adanya itu jatuh ke dalam dosa. Dosa di dalam bahasa aslinya tidak hanya dimengerti sebagai perbuatan jahat, namun lebih dalam dari itu, dosa (Yun:hamartia) berarti kehilangan, meleset dari target atau sasaran yang ditetapkan, dimana tujuan asli penciptaan manusia adalah untuk memuliakan Pencipta-Nya (theosentris) yang kemudian bergeser dan berusaha digeser manusia menjadi memuliakan manusia (antroposentris).

Francis A. Schaeffer mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya melakukan segala sesuatu atas basis kepercayaan (believe) yang dipegangnya, ”I do what I think and I think what I believe”. Karena itulah di dalam setiap zaman, ada karya arsitektur emas yang menjadi puncak identitas dan representasi dari zaman itu. Geist atau semangat zaman yang dipantik oleh filosofi yang menjadi presuposisi zaman itu menjadi penentu atas berbagai bidang hidup manusia. Jikalau kita menyebut arsitektur postmodern maka karya arsitektur yang dikenal nyaris selalu diidentikan dengan karya dekonstruksi dan minimalis ornamentasi, mengapa? karena para arsitek posmodern memegang filsafat Derrida termasuk Jencks bahwa meaning of life manusia kini adalah permainan bahasa sebagai dasar berlogika dan ekspresinya tercermin melalui rekonstruksi ulang dan mendenkontruksi tatanan lama yang dianggap cenderung absolut terhadap pakem dan langgam tertentu (lihat gambar di atas, sebuah model deconstructivist vision).

Jikalau kita menyebut arsitektur klasik maka tidak mungkin tidak mengenal arsitektur Greek, Byzantium, Renaissance, Gothic, Romantic, dan sebagainya yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yang tengah berkembang di masa tersebut.

Fakta kejatuhan manusia (fall) menjadi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia termasuk bidang arsitektur. Jikalau kemajuan (jikalau boleh disebut ”kemajuan”) dalam arsitektur saat ini dengan ditandai dengan bangunan tertinggi, terbesar di setiap wajah kota di dunia, maka fakta keberdosaan makin menunjukkan bahwa solusi arsitektur modern tersebut belum tentu mencegah manusia untuk terus sustain merusak alam dan tidak menghormati Penciptanya.

Saturday, April 26, 2008

KEBUDAYAAN & ARSITEKTUR: REFLEKSI 2008

Setelah sekian lama vakum, kali ini hadir satu tulisan refleksi yang semestinya dimuat awal Januari 2008 lalu. Kiranya bisa menjadi semacam pencerahan dalam cakrawala pemikiran dan kebudayaan kita.

Arsitektur merupakan cerminan worldview manusia. Dunia arsitektur tidak cukup dipahami sebagai realitas fisik berupa ruang fisik teraba yang dihasilkan oleh kondisi sosial, lingkungan alam maupun budaya masyarakatnya. Lebih dari itu, karya arsitektur sebenarnya dibangun atas dasar paradigma dan filosofi berpikir pembangunnya (individu maupun komunal). Ranah arsitektur mencakup fenomena dan nomena, oleh sebab itu arsitektur tidak mungkin dilihat dari kategori material yang dihasilkan.

Amos Rapoport mengungkapkan bahwa arsitektur mengalami dikotomi, yakni dibagi dalam kelompok arsitektur yang diwakili oleh bangunan-bangunan, seperti monumen-sebagai bangunan tradisi desain yang agung yang merupakan representasi dari kekuasaan dan kejeniusan individual sang arsitek. Sebaliknya, budaya masyarakat merupakan ekspresi yang berhubungan dengan budaya mayoritas, tanpa adanya seorang desainer, seniman atau arsitek. Akan tetapi ”hidup” dalam masyarakat lebih dari tradisi desain yang agung yang merepresentasi budaya para elite. Budaya massa dalam arsitektur ini seringkali didefinisikan antara lain sebagai arsitektur primitif, arsitektur vernakular, architecture without architect, arsitektur tradisional, regional culture ataupun juga arsitektur pinggiran. Sedangkan budaya tinggi diwakili oleh arsitektur non-tradisional, arsitektur world culture, universal civilization.

Bagi penulis, arsitektur tidak mengalami dikotomi, namun karena lahir dan hidup dari paradoksial kehidupan manusia maka nampak seolah terbagi satu dengan yang lain. Terdapat satu adagium yang menyebutkan bahwa akar untuk mengenal (karya) arsitektur adalah mengenal esensi manusianya (who is man?) terlebih dahulu, baru kemudian dapat dijajaki seberapa besar pengaruh esensi manusia sesungguhnya terhadap kehadiran karya-karya arsitektur di dunia dan mengapa seolah-olah terjadi dikotomi antara yang baik dan buruk.

Bersambung

Friday, August 17, 2007

MENJELAJAH ARSITEKTUR TRADISIONAL DI SUMATERA

-Celebes Island-

(Seri 2: Sumatera)

Wonderful island!! Demikian ungkap para penjelajah samudera ketika pertama kali menemukan Celebes Island. Sumatera dikenal karena beberapa hal yang hingga saat kini menjadi ciri khas utamanya, yaitu:

(1) Danau Toba yang dikenal sebagai bekas kaldera dari pecahan gunung api super;

(2) Harimau Sumatera yang eksotik;

(3) Bunga langka Rafflesia arnoldi; hingga

(4) Warisan kuliner yang terkenal baik kuliner Aceh, Padang hingga Medan.



"An ancient name for Sumatra was Swarna Dwipa"
(Wikipedia)



Rumoh Aceh

Bagi masyarakat tradisional Aceh, rumah tinggal bukanlah rumah hunian biasa tanpa makna. Orientasi rumah yang selalu diupayakan menghadap ke arah Mekkah (ke arah barat dari Aceh), merupakan ungkap bentuk kecintaan terhadap Islam sehingga mendorong karya arsitektur menyesuaikan jatidirinya.

Selain orientasi rumah yang selalu mengikuti garis imajiner timur ke barat, namun apabila ada penambahan ruang maka dilakukan ke sisi samping (utara atau selatan). Hal tersebut nampak pada arah hadap bangunan ke arah timur sedangkan sisi dalam-sisi belakang yang dianggap sakral berada di sisi barat.

Pembangunan rumoh Aceh tidak hanya harus memenuhi syarat agamawi saja, namun karena harus responsif terhadap alam tropis maka rumoh Aceh hadir dalam bentuk rumah panggung yang nyaman.

Membangun Rumoh Aceh

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah melalui beberapa persyaratan, seperti pemilihan “hari baik” yang ditentukan oleh teungku (ulama setempat) dan pengadaan acara kenduri dengan upacara peusijuk-nya.

Konstruksi rumoh Aceh berbahan utama kayu-kayu pilihan, begitu pula tiang struktur utama, dinding dan lantai rumah, pintu dan jendela hingga atap rumah dengan penutup dari daun rumbia atau daun pohon sagu.

Apabila persyaratan mutu bahan bangunan benar-benar menggunakan kayu pilihan dan berkualitas bagus, maka rumah Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Mengenal Rumoh Aceh

Pembagian ruang rumoh Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Menapaki kaki yang lelah setelah berjalan jauh sungguh terasa nyaman ketika masuk ke sramoe reunyen (serambi bertangga) rumah, melangkah masuk ke dalam ruang melalui pintu yang didesain setinggi 120-150 cm, menyadarkan setiap tamu untuk bersikap selalu saling menghormati terutama kepada pemilik rumah.

Ruang utama atau rambat terasa lapang dan luas karena sengaja tidak diisi perabot kursi-meja, namun hanya diisi hamparan tikar ngom lapis tikar pandan yang halus. Tamu umumnya dipersilahkan duduk bersila bersama sang tuan rumah sehingga menghadirkan suasana kehangatan persaudaraan.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, rumoh Aceh adalah rumah panggung yang memiliki yup moh atau ruang bawah terbuka yang memiliki peranan penting banyak fungsi seperti (1) digunakan kaum perempuan untuk membuat songket; (2) tempat meletakkan jeungki dan krongs; (3) memudahkan antisipasi terhadap kemungkinan banjir atau ancaman binatang berbahaya; (4) digunakan untuk kandang hewan peliharaan; hingga (5) digunakan sebagai warung atau kios.

Keberadaan Rumoh Aceh kini

Masa kini telah jarang sekali ditemui rumoh Aceh yang dibangun spesifik untuk rumah tinggal, godaan untuk tinggal di dalam rumah beton mendorong mayoritas masyarakat Aceh melepas secara perlahan-lahan akan warisan budaya arsitekturnya.

Selepas tragedi tsunami, banyak sekali peninggalan rumoh Aceh yang asli hilang tersapu badai alam di samping tersapu badai modernisasi. Berdasarkan amatan yang pernah dilakukan, rumoh Aceh asli masih “cukup banyak” ditemui di daerah Kabupaten Pidie dan di desa-desa sekitar kawasan pantai Timur yang tersebar dari Aceh Timur hingga Aceh Besar.

Apresiasi pemerintah setempat terhadap tinggalan arsitektur tradisional ini nampak dibangunnya Museum Aceh yang mengadopsi rumoh tradisonal Aceh di Jl. S.A. Mahmudsyah di kota Banda Aceh maupun nampak di tinggalan rumah Tjut Nyak Dhien di Aceh Besar (nampak di gambar bagian berikut)


Sumber: www.flickr.com by Kunthowibowo

Ungkapan:

“Pintu rumoh Aceh ibarat hati orang Aceh, sulit untuk memasukinya namun begitu masuk akan diterima dengan penuh lapang dada serta kehangatan”.

Wednesday, August 1, 2007

BERWISATA MENIKMATI ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA

(seri 1: Pengantar)
Background:
Tulisan ini merupakan rangkaian tulisan (cukup panjang dan berseri) mengenai berbagai arsitektur rumah tinggal tradisional yang tersebar mulai dari daerah di paling barat Indonesia hingga paling timur Indonesia. Tulisan dan penelitian mengenai arsitektur tradisional telah cukup banyak dilakukan, sehingga penitikberatan tulisan ini cenderung merujuk pada kegiatan berwisata itu sendiri. Tentu akan ada penjelasan ringkas yang berkaitan dengan nilai tradisi bahkan warisan filosofis yang diajarkan masing-masing etnik melalui bijaksana dibalik arsitekturnya, namun karena contents berkaitan wisata maka tidak lupa diusahakan disertai dengan peta dan lokasi karya arsitektur dengan legenda amenitas maupun aksesbilitas penunjang sehingga memudahkan para pembaca-pejalan menyusuri bahkan mendatangi rumah tinggal tradisional di berbagai pelosok Indonesia.

Keywords:
Menyelami karya
budaya bangsa Indonesia bagaikan menyusuri ribuan kilometer sungai dan belantara di pedalaman pulau-pulau. Menakjubkan sekaligus menggetarkan jiwa yang penuh dengan cinta budaya. Arsitektur sebagai salah satu bagian kecil dari karya budaya yang sarat dengan makna kehidupan, apresiasi terhadap lingkungan alam sekitar, hingga ekspresi pewujudan seni estetika jiwa manusia, merupakan bagian ciptaan yang dicipta dan diinspirasi sedemikian rupa sehingga hadir sebagai bagian tak terpisah di dalam peradaban dunia.
Menghadirkan kumpulan karya arsitektur tradisional khasanah berbagai suku bangsa masyarakat Indonesia ke dalam sebuah t
ulisan tentulah tidak dimaksudkan untuk mengecilkan kebesaran karya-karya arsitektur di Indonesia, namun lebih merupakan upaya untuk merangsang kecintaan, mendorong kuriositas dan mengajak khalayak untuk mendatangi karya tersebut dan belajar bijaksana dibaliknya.


Jatidiri karya arsitektur di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari jatidiri manusianya. Menemukenali arsitektur khas kedaerahan Indonesia, tentu akan mengundang singgungan terhadap ragam etnik tradisional yang berdiam di berbagai bentangan pulau-pulau. Mengenal identitas peradaban etnik-etnik yang ada tentunya akan mendorong pengenalan akan diri sendiri, siapakah diri ditinjau dari budaya yang melatar belakangi, darimanakah berasal, hingga siapakah nenek moyang yang menciptanya akan membeberkan untaian sejarah panjang perjalanan arsitektur tradisional Indonesia. Melalui pengenalan akan karya arsitektur tradisional, lapang pandang sejarah dan tatanan peradaban bangsa Indonesia menjadi begitu berharga dengan ciri khas serta identitas yang tak terelakkan.

Berwisata kerapkali menjadi bagian tak terpisahkan di dalam keseharian, walaupun jarang diungkapkan secara verbal namun tindakan keseharian kita mencerminkan perilaku berwisata. Kala seseorang berkeinginan menikmati tontonan ketoprak yang jarak dari tempat tinggalnya mungkin hanya beberapa ratus meter, namun apabila motivasi awal adalah untuk melepaskan penat dan ‘keluar’ dari rutinitas harian, maka tindakan tersebut termasuk dalam kategori berwisata. Berwisata guna menikmati suatu daya tarik tertentu apalagi diimbuhi dengan kegiatan pembelajaran terhadap tinggalan budaya dan arsitektur rumah tinggal di Indonesia tentulah akan membuka cakrawala dan wawasan yang luas terhadap ranah karya para leluhur bangsa. Tentu tak dapat disangkal apabila melakukan perjalanan berkeliling negeri untuk menikmati karya arsitektur dapat dianggap merupakan ‘wisata perlu modal besar’. Benarkah demikian?
Tentu saja benar!,namun akan lebih baik apabila perjalanan wisata tidak lagi hanya untuk menikmati satu objek saja, karena kini tawaran one package tourism telah menciptakan rangkaian atraksi yang utuh dan bermakna bagi para wisatawan dan pengelana.

Sejarah mengajarkan bahwa di masa lalu berbagai masyarakat tradisonal di Indonesia telah membakukan berbagai istilah berkaitan dengan penyebutan atau penamaan rumah tinggalnya yang sedemikian ‘dimuliakan’. Berbagai sebutan yang diberikan diusahakan selaras dengan fungsi dan bentuknya. Sebagaimana diketahui, tentulah kita telah mengenal rumah Lamin atau Betang (rumah panjang) di bumi Kalimantan,Tongkonan di Toraja, rumah Bolon di Batak Toba, rumah Waluh Jabu di Batak Karo, rumah Gadang di Minangkabau, SalassaGriya-Puri-Jero-Umah di Bali, Keraton-Dalem-Omah di Jawa, Saoraja-Bola di Bugis, Honai di Papua dan sebagainya.

Setiap penamaan berkait dengan nilai tradisi, mengandung nilai budaya, kearifan, serta cita rasa seni dan logika tinggi dari para arsiteknya. Demikian pula sebutan bagi para arsiteknya (master builder) yang di dalam strata sosial masyarakat adat memiliki tanggung jawab dan kedudukan serta panutan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masyarakat Jawa dikenal sebagai kalang/empu, pande di Batak, pendagi di Lombok, undagi di Bali, panggita di Sumbawa, mohmoli di Flores, yang kesemuanya dapat diartikan sebagai “manusia utama dan bijaksana”, tomanarang di Tana Toraja dan panrita bola di Bugis yang berarti “pendeta dunia” dan nankodoh rajo di Minangkabau yang berarti “nahkoda raja”.

-Sendowo, Yogyakarta 27 Juli 2007-
Tulisan di atas dapat pula dibaca di www.kalteng.go.id

Tuesday, June 12, 2007

MENGGUGAT GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE

Tinjauan Melalui Aspek Pengajaran Kristus

Paradigma good government governance merupakan salah satu paradigma yang kini merupakan isu sentral dalam rangka pembangunan bangsa dan negara. Tuntutan untuk mencapai bentuk pemerintahan yang baik dapat dilalui dengan berbagai cara (santun dan beradab tentunya), salah satunya adalah melalui reformasi moral. Sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang guru besar hukum UGM, Prof. Nindyo Pramono, gagasan reformasi moral merupakan gagasan yang bagi sebagian besar orang adalah gagasan usang dan sama sekali tidak populis. Berdasarkan pandangan penulis saat ini, reformasi moral merupakan salah satu faktor penentu (kunci) bagi kebangkitan (dari keterputukan ekonomi pasca resesi maupun keterpurukan moral) bangsa Indonesia, demikian pula halnya tuntutan terbentuknya pemerintahan yang baik (good governance) seharusnya dibarengi dengan tuntutan terbentuknya masyarakat yang baik (good society).

“Berkonsep” mengenai menjadi baik merupakan hal yang lebih mudah dilakukan ketimbang “berubah” menjadi baik, untuk menjadi baik tersebut maka pemimpin ataupun pemerintah mau tidak mau akan diperhadapkan pada masalah perubahan hati, yang di dalam Kitab Sucinya orang Kristen sama pentingnya dengan perubahan pola pikir. Seperti apakah yang dimaksud dengan perubahan hati tersebut?? Pelajaran melalui peristiwa Paskah yang telah lalu, menjadi sesuatu yang aktual dan relevan bagi pemerintah yang terus memperbaiki diri, swasta yang berusaha baik, masyarakat yang baik hingga pribadi yang baik.

Ada semacam paradigma “gandengan” yang seharusnya menyertai paradigma baik (good) seperti yang dipaparkan di awal paragraph di atas yakni paradigma kasih (cinta) yang dipraktekkan Yesus Kristus dalam kematian-Nya di Golgota, yang dapat menjadi inspirasi kala bangsa Indonesia mengalami krisis moral dan krisis kasih. Antonius (2007) menyingkapkan ada 5 hal yang bisa dipelajari dari peristiwa hukuman salib (peristiwa Golgota) yang pernah dialami oleh Kristus, kurang lebih 2000 tahun lalu, sebagai teladan bagi pemerintah yang baik, yakni:

Pertama, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENGORBANAN, rela merugi demi kebahagiaan orang lain. Adagium ini barangkali telah terasa usang tatkala kita lebih cenderung menerima adagium "berbahagia di atas penderitaan orang lain".

Cinta sejati seharusnya berupa altruisme dan bukan egoisme, berupa eksploitasi diri dan bukan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingan sendiri. Oleh karena itu, jika suami mengasihi istri, orang tua mengasihi anak, guru mengasihi murid, dan pemerintah mengasihi rakyat (seperti Kristus yang rela mati untuk mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang Mutlak Suci-Kudus), mereka harus rela membayar harga mahal untuk mengorbankan diri bagi kebahagiaan orang lain. Praktek elite politik membonsai rakyat menjadi komoditas politik merupakan praktik keji penuh kebencian, miskin cinta, kejam, dan tidak bermoral. Praktek seperti itu harus dihentikan. Marilah kita membangun cinta sejati yang diparadigma dalam pengorbanan diri.

Kedua, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENUH PENGAMPUNAN DAN BUKAN BALAS DENDAM. Perkataan pertama Yesus Kristus di kayu salib adalah "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34).

Salib dalam hukuman mati Romawi telah menjadi panggung penuh kutuk. Namun ketika Yesus Kristus berada di atas kayu kasar itu, Ia menunjukkan praktek berbeda : pengampunan. Ya, Ia mengampuni para pemaku dan pencambuk diri-Nya. Itulah cinta sejati, penuh pengampunan.

Tanpa cinta sejati demikian, bangsa kita akan terus dipenuhi praktek dendam kesumat yang telah berurat akar dan tidak akan selesai kecuali senjata pengampunan digunakan secara optimal. Tanpa ini, suku satu akan terus membalas suku yang lain. Angkatan satu saling mencerca, mendendam, iri hati dan jengkel dengan angkatan lain.

Ketiga, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENUH PENERIMAAN. Seorang penjahat, yang tadinya menghujat Yesus tetapi kemudian akhrnya bertobat, berseru, "Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja" (Lukas 23:42). Yesus kemudian menerimanya dan berkata, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Lukas 23:43).

Penerimaan Yesus ini tidak serta-merta mereduksi keadilan penghukuman karena cinta sejati tidak pernah mau menerima kejahatannya. Yang diterima adalah orangnya. Tanpa penerimaan kepada seseorang yang telah berbuat salah, penghakiman dan keadilan akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Seseorang sekalipun, berbuat jahat, tetap manusia yang dicipta sebagai citra Allah dan seharusnya diterima orang lain. Diperlukan cinta seperti ini di tengah masyarakat agar kita dapat saling menerima dan menghargai perbedaan.

Keempat, CINTA GOLGOTA MELENYAPKAN KETAKUTAN sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Yohanes 4:18 "di dalam kasih (cinta) tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan". Yesus Kristus tidak takut akan penderitaan dan kematian. Sekalipun hal mengerikan itu harus Ia jalani. Namun karena Ia mengasihi, sama sekali tidak ada ketakutan.

Seorang ibu yang harus menemani anaknya di tengah kegelapan tidak merasa takut karena mengasihi anaknya. Seorang ayah yang harus menemani anaknya, penderita flu burung, tidak takut tertular karena mengasihi anaknya. Kalau para elite kita benar-benar mengasihi, mereka seharusnya tidak menjauhi rakyat atau menjadikan rakyat seperti momok dan borok yang harus dijauhi, melainkan dengan berani mendekati pusat krisis dan dekat dengan air mata rakyat.

Cinta seperti ini diperlukan para pemimpin. Cinta yang tidak menghasilkan ketakutan, melainkan keberanian. Bukan keberanian untuk berbuat kejahatan, tetapi keberanian untuk berbuat kebenaran.

Kelima, CINTA GOLGOTA PENUH DENGAN KARAKTER MULIA, sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Korintus 13:4-7 "Kasih (cinta) itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan teteapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu".

Antonius (2007) punj menjelaskan bahwa, karakter-karakter mulia bermutu tinggi ini barangkali bisa menjadi parameter bagaimana praktek cinta telah dijalankan di tengah masyarakat, yakni antara pemerintah-rakyat, suami-istri, orangtua-anak, guru-murid, penjual-pembeli, dan seterusnya.

Semoga kiranya, para abdi negara kita di negeri ini menjadi teladan dan pionir akan pemerintah yang baik (good governance government).

---Salam Pembangunan Indonesia---