Friday, August 17, 2007

MENJELAJAH ARSITEKTUR TRADISIONAL DI SUMATERA

-Celebes Island-

(Seri 2: Sumatera)

Wonderful island!! Demikian ungkap para penjelajah samudera ketika pertama kali menemukan Celebes Island. Sumatera dikenal karena beberapa hal yang hingga saat kini menjadi ciri khas utamanya, yaitu:

(1) Danau Toba yang dikenal sebagai bekas kaldera dari pecahan gunung api super;

(2) Harimau Sumatera yang eksotik;

(3) Bunga langka Rafflesia arnoldi; hingga

(4) Warisan kuliner yang terkenal baik kuliner Aceh, Padang hingga Medan.



"An ancient name for Sumatra was Swarna Dwipa"
(Wikipedia)



Rumoh Aceh

Bagi masyarakat tradisional Aceh, rumah tinggal bukanlah rumah hunian biasa tanpa makna. Orientasi rumah yang selalu diupayakan menghadap ke arah Mekkah (ke arah barat dari Aceh), merupakan ungkap bentuk kecintaan terhadap Islam sehingga mendorong karya arsitektur menyesuaikan jatidirinya.

Selain orientasi rumah yang selalu mengikuti garis imajiner timur ke barat, namun apabila ada penambahan ruang maka dilakukan ke sisi samping (utara atau selatan). Hal tersebut nampak pada arah hadap bangunan ke arah timur sedangkan sisi dalam-sisi belakang yang dianggap sakral berada di sisi barat.

Pembangunan rumoh Aceh tidak hanya harus memenuhi syarat agamawi saja, namun karena harus responsif terhadap alam tropis maka rumoh Aceh hadir dalam bentuk rumah panggung yang nyaman.

Membangun Rumoh Aceh

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah melalui beberapa persyaratan, seperti pemilihan “hari baik” yang ditentukan oleh teungku (ulama setempat) dan pengadaan acara kenduri dengan upacara peusijuk-nya.

Konstruksi rumoh Aceh berbahan utama kayu-kayu pilihan, begitu pula tiang struktur utama, dinding dan lantai rumah, pintu dan jendela hingga atap rumah dengan penutup dari daun rumbia atau daun pohon sagu.

Apabila persyaratan mutu bahan bangunan benar-benar menggunakan kayu pilihan dan berkualitas bagus, maka rumah Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Mengenal Rumoh Aceh

Pembagian ruang rumoh Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Menapaki kaki yang lelah setelah berjalan jauh sungguh terasa nyaman ketika masuk ke sramoe reunyen (serambi bertangga) rumah, melangkah masuk ke dalam ruang melalui pintu yang didesain setinggi 120-150 cm, menyadarkan setiap tamu untuk bersikap selalu saling menghormati terutama kepada pemilik rumah.

Ruang utama atau rambat terasa lapang dan luas karena sengaja tidak diisi perabot kursi-meja, namun hanya diisi hamparan tikar ngom lapis tikar pandan yang halus. Tamu umumnya dipersilahkan duduk bersila bersama sang tuan rumah sehingga menghadirkan suasana kehangatan persaudaraan.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, rumoh Aceh adalah rumah panggung yang memiliki yup moh atau ruang bawah terbuka yang memiliki peranan penting banyak fungsi seperti (1) digunakan kaum perempuan untuk membuat songket; (2) tempat meletakkan jeungki dan krongs; (3) memudahkan antisipasi terhadap kemungkinan banjir atau ancaman binatang berbahaya; (4) digunakan untuk kandang hewan peliharaan; hingga (5) digunakan sebagai warung atau kios.

Keberadaan Rumoh Aceh kini

Masa kini telah jarang sekali ditemui rumoh Aceh yang dibangun spesifik untuk rumah tinggal, godaan untuk tinggal di dalam rumah beton mendorong mayoritas masyarakat Aceh melepas secara perlahan-lahan akan warisan budaya arsitekturnya.

Selepas tragedi tsunami, banyak sekali peninggalan rumoh Aceh yang asli hilang tersapu badai alam di samping tersapu badai modernisasi. Berdasarkan amatan yang pernah dilakukan, rumoh Aceh asli masih “cukup banyak” ditemui di daerah Kabupaten Pidie dan di desa-desa sekitar kawasan pantai Timur yang tersebar dari Aceh Timur hingga Aceh Besar.

Apresiasi pemerintah setempat terhadap tinggalan arsitektur tradisional ini nampak dibangunnya Museum Aceh yang mengadopsi rumoh tradisonal Aceh di Jl. S.A. Mahmudsyah di kota Banda Aceh maupun nampak di tinggalan rumah Tjut Nyak Dhien di Aceh Besar (nampak di gambar bagian berikut)


Sumber: www.flickr.com by Kunthowibowo

Ungkapan:

“Pintu rumoh Aceh ibarat hati orang Aceh, sulit untuk memasukinya namun begitu masuk akan diterima dengan penuh lapang dada serta kehangatan”.

Wednesday, August 1, 2007

BERWISATA MENIKMATI ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA

(seri 1: Pengantar)
Background:
Tulisan ini merupakan rangkaian tulisan (cukup panjang dan berseri) mengenai berbagai arsitektur rumah tinggal tradisional yang tersebar mulai dari daerah di paling barat Indonesia hingga paling timur Indonesia. Tulisan dan penelitian mengenai arsitektur tradisional telah cukup banyak dilakukan, sehingga penitikberatan tulisan ini cenderung merujuk pada kegiatan berwisata itu sendiri. Tentu akan ada penjelasan ringkas yang berkaitan dengan nilai tradisi bahkan warisan filosofis yang diajarkan masing-masing etnik melalui bijaksana dibalik arsitekturnya, namun karena contents berkaitan wisata maka tidak lupa diusahakan disertai dengan peta dan lokasi karya arsitektur dengan legenda amenitas maupun aksesbilitas penunjang sehingga memudahkan para pembaca-pejalan menyusuri bahkan mendatangi rumah tinggal tradisional di berbagai pelosok Indonesia.

Keywords:
Menyelami karya
budaya bangsa Indonesia bagaikan menyusuri ribuan kilometer sungai dan belantara di pedalaman pulau-pulau. Menakjubkan sekaligus menggetarkan jiwa yang penuh dengan cinta budaya. Arsitektur sebagai salah satu bagian kecil dari karya budaya yang sarat dengan makna kehidupan, apresiasi terhadap lingkungan alam sekitar, hingga ekspresi pewujudan seni estetika jiwa manusia, merupakan bagian ciptaan yang dicipta dan diinspirasi sedemikian rupa sehingga hadir sebagai bagian tak terpisah di dalam peradaban dunia.
Menghadirkan kumpulan karya arsitektur tradisional khasanah berbagai suku bangsa masyarakat Indonesia ke dalam sebuah t
ulisan tentulah tidak dimaksudkan untuk mengecilkan kebesaran karya-karya arsitektur di Indonesia, namun lebih merupakan upaya untuk merangsang kecintaan, mendorong kuriositas dan mengajak khalayak untuk mendatangi karya tersebut dan belajar bijaksana dibaliknya.


Jatidiri karya arsitektur di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari jatidiri manusianya. Menemukenali arsitektur khas kedaerahan Indonesia, tentu akan mengundang singgungan terhadap ragam etnik tradisional yang berdiam di berbagai bentangan pulau-pulau. Mengenal identitas peradaban etnik-etnik yang ada tentunya akan mendorong pengenalan akan diri sendiri, siapakah diri ditinjau dari budaya yang melatar belakangi, darimanakah berasal, hingga siapakah nenek moyang yang menciptanya akan membeberkan untaian sejarah panjang perjalanan arsitektur tradisional Indonesia. Melalui pengenalan akan karya arsitektur tradisional, lapang pandang sejarah dan tatanan peradaban bangsa Indonesia menjadi begitu berharga dengan ciri khas serta identitas yang tak terelakkan.

Berwisata kerapkali menjadi bagian tak terpisahkan di dalam keseharian, walaupun jarang diungkapkan secara verbal namun tindakan keseharian kita mencerminkan perilaku berwisata. Kala seseorang berkeinginan menikmati tontonan ketoprak yang jarak dari tempat tinggalnya mungkin hanya beberapa ratus meter, namun apabila motivasi awal adalah untuk melepaskan penat dan ‘keluar’ dari rutinitas harian, maka tindakan tersebut termasuk dalam kategori berwisata. Berwisata guna menikmati suatu daya tarik tertentu apalagi diimbuhi dengan kegiatan pembelajaran terhadap tinggalan budaya dan arsitektur rumah tinggal di Indonesia tentulah akan membuka cakrawala dan wawasan yang luas terhadap ranah karya para leluhur bangsa. Tentu tak dapat disangkal apabila melakukan perjalanan berkeliling negeri untuk menikmati karya arsitektur dapat dianggap merupakan ‘wisata perlu modal besar’. Benarkah demikian?
Tentu saja benar!,namun akan lebih baik apabila perjalanan wisata tidak lagi hanya untuk menikmati satu objek saja, karena kini tawaran one package tourism telah menciptakan rangkaian atraksi yang utuh dan bermakna bagi para wisatawan dan pengelana.

Sejarah mengajarkan bahwa di masa lalu berbagai masyarakat tradisonal di Indonesia telah membakukan berbagai istilah berkaitan dengan penyebutan atau penamaan rumah tinggalnya yang sedemikian ‘dimuliakan’. Berbagai sebutan yang diberikan diusahakan selaras dengan fungsi dan bentuknya. Sebagaimana diketahui, tentulah kita telah mengenal rumah Lamin atau Betang (rumah panjang) di bumi Kalimantan,Tongkonan di Toraja, rumah Bolon di Batak Toba, rumah Waluh Jabu di Batak Karo, rumah Gadang di Minangkabau, SalassaGriya-Puri-Jero-Umah di Bali, Keraton-Dalem-Omah di Jawa, Saoraja-Bola di Bugis, Honai di Papua dan sebagainya.

Setiap penamaan berkait dengan nilai tradisi, mengandung nilai budaya, kearifan, serta cita rasa seni dan logika tinggi dari para arsiteknya. Demikian pula sebutan bagi para arsiteknya (master builder) yang di dalam strata sosial masyarakat adat memiliki tanggung jawab dan kedudukan serta panutan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masyarakat Jawa dikenal sebagai kalang/empu, pande di Batak, pendagi di Lombok, undagi di Bali, panggita di Sumbawa, mohmoli di Flores, yang kesemuanya dapat diartikan sebagai “manusia utama dan bijaksana”, tomanarang di Tana Toraja dan panrita bola di Bugis yang berarti “pendeta dunia” dan nankodoh rajo di Minangkabau yang berarti “nahkoda raja”.

-Sendowo, Yogyakarta 27 Juli 2007-
Tulisan di atas dapat pula dibaca di www.kalteng.go.id