Tuesday, June 12, 2007

MENGGUGAT GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE

Tinjauan Melalui Aspek Pengajaran Kristus

Paradigma good government governance merupakan salah satu paradigma yang kini merupakan isu sentral dalam rangka pembangunan bangsa dan negara. Tuntutan untuk mencapai bentuk pemerintahan yang baik dapat dilalui dengan berbagai cara (santun dan beradab tentunya), salah satunya adalah melalui reformasi moral. Sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang guru besar hukum UGM, Prof. Nindyo Pramono, gagasan reformasi moral merupakan gagasan yang bagi sebagian besar orang adalah gagasan usang dan sama sekali tidak populis. Berdasarkan pandangan penulis saat ini, reformasi moral merupakan salah satu faktor penentu (kunci) bagi kebangkitan (dari keterputukan ekonomi pasca resesi maupun keterpurukan moral) bangsa Indonesia, demikian pula halnya tuntutan terbentuknya pemerintahan yang baik (good governance) seharusnya dibarengi dengan tuntutan terbentuknya masyarakat yang baik (good society).

“Berkonsep” mengenai menjadi baik merupakan hal yang lebih mudah dilakukan ketimbang “berubah” menjadi baik, untuk menjadi baik tersebut maka pemimpin ataupun pemerintah mau tidak mau akan diperhadapkan pada masalah perubahan hati, yang di dalam Kitab Sucinya orang Kristen sama pentingnya dengan perubahan pola pikir. Seperti apakah yang dimaksud dengan perubahan hati tersebut?? Pelajaran melalui peristiwa Paskah yang telah lalu, menjadi sesuatu yang aktual dan relevan bagi pemerintah yang terus memperbaiki diri, swasta yang berusaha baik, masyarakat yang baik hingga pribadi yang baik.

Ada semacam paradigma “gandengan” yang seharusnya menyertai paradigma baik (good) seperti yang dipaparkan di awal paragraph di atas yakni paradigma kasih (cinta) yang dipraktekkan Yesus Kristus dalam kematian-Nya di Golgota, yang dapat menjadi inspirasi kala bangsa Indonesia mengalami krisis moral dan krisis kasih. Antonius (2007) menyingkapkan ada 5 hal yang bisa dipelajari dari peristiwa hukuman salib (peristiwa Golgota) yang pernah dialami oleh Kristus, kurang lebih 2000 tahun lalu, sebagai teladan bagi pemerintah yang baik, yakni:

Pertama, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENGORBANAN, rela merugi demi kebahagiaan orang lain. Adagium ini barangkali telah terasa usang tatkala kita lebih cenderung menerima adagium "berbahagia di atas penderitaan orang lain".

Cinta sejati seharusnya berupa altruisme dan bukan egoisme, berupa eksploitasi diri dan bukan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingan sendiri. Oleh karena itu, jika suami mengasihi istri, orang tua mengasihi anak, guru mengasihi murid, dan pemerintah mengasihi rakyat (seperti Kristus yang rela mati untuk mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang Mutlak Suci-Kudus), mereka harus rela membayar harga mahal untuk mengorbankan diri bagi kebahagiaan orang lain. Praktek elite politik membonsai rakyat menjadi komoditas politik merupakan praktik keji penuh kebencian, miskin cinta, kejam, dan tidak bermoral. Praktek seperti itu harus dihentikan. Marilah kita membangun cinta sejati yang diparadigma dalam pengorbanan diri.

Kedua, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENUH PENGAMPUNAN DAN BUKAN BALAS DENDAM. Perkataan pertama Yesus Kristus di kayu salib adalah "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34).

Salib dalam hukuman mati Romawi telah menjadi panggung penuh kutuk. Namun ketika Yesus Kristus berada di atas kayu kasar itu, Ia menunjukkan praktek berbeda : pengampunan. Ya, Ia mengampuni para pemaku dan pencambuk diri-Nya. Itulah cinta sejati, penuh pengampunan.

Tanpa cinta sejati demikian, bangsa kita akan terus dipenuhi praktek dendam kesumat yang telah berurat akar dan tidak akan selesai kecuali senjata pengampunan digunakan secara optimal. Tanpa ini, suku satu akan terus membalas suku yang lain. Angkatan satu saling mencerca, mendendam, iri hati dan jengkel dengan angkatan lain.

Ketiga, CINTA GOLGOTA ADALAH CINTA PENUH PENERIMAAN. Seorang penjahat, yang tadinya menghujat Yesus tetapi kemudian akhrnya bertobat, berseru, "Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja" (Lukas 23:42). Yesus kemudian menerimanya dan berkata, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Lukas 23:43).

Penerimaan Yesus ini tidak serta-merta mereduksi keadilan penghukuman karena cinta sejati tidak pernah mau menerima kejahatannya. Yang diterima adalah orangnya. Tanpa penerimaan kepada seseorang yang telah berbuat salah, penghakiman dan keadilan akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Seseorang sekalipun, berbuat jahat, tetap manusia yang dicipta sebagai citra Allah dan seharusnya diterima orang lain. Diperlukan cinta seperti ini di tengah masyarakat agar kita dapat saling menerima dan menghargai perbedaan.

Keempat, CINTA GOLGOTA MELENYAPKAN KETAKUTAN sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Yohanes 4:18 "di dalam kasih (cinta) tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan". Yesus Kristus tidak takut akan penderitaan dan kematian. Sekalipun hal mengerikan itu harus Ia jalani. Namun karena Ia mengasihi, sama sekali tidak ada ketakutan.

Seorang ibu yang harus menemani anaknya di tengah kegelapan tidak merasa takut karena mengasihi anaknya. Seorang ayah yang harus menemani anaknya, penderita flu burung, tidak takut tertular karena mengasihi anaknya. Kalau para elite kita benar-benar mengasihi, mereka seharusnya tidak menjauhi rakyat atau menjadikan rakyat seperti momok dan borok yang harus dijauhi, melainkan dengan berani mendekati pusat krisis dan dekat dengan air mata rakyat.

Cinta seperti ini diperlukan para pemimpin. Cinta yang tidak menghasilkan ketakutan, melainkan keberanian. Bukan keberanian untuk berbuat kejahatan, tetapi keberanian untuk berbuat kebenaran.

Kelima, CINTA GOLGOTA PENUH DENGAN KARAKTER MULIA, sebagaimana ditegaskan dalam Surat 1 Korintus 13:4-7 "Kasih (cinta) itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan teteapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu".

Antonius (2007) punj menjelaskan bahwa, karakter-karakter mulia bermutu tinggi ini barangkali bisa menjadi parameter bagaimana praktek cinta telah dijalankan di tengah masyarakat, yakni antara pemerintah-rakyat, suami-istri, orangtua-anak, guru-murid, penjual-pembeli, dan seterusnya.

Semoga kiranya, para abdi negara kita di negeri ini menjadi teladan dan pionir akan pemerintah yang baik (good governance government).

---Salam Pembangunan Indonesia---

Wednesday, June 6, 2007

KEMISKINAN BUKAN AIB

Benarkah kemiskinan bisa dihilangkan? Dan mengapa sepanjang sejarah umat manusia, sejarah mengajarkan bahwa kemiskinan tidak bisa dilenyapkan?

Selama ini, tentu kita sering mendengar beberapa istilah yang ‘digandeng’ dengan kata kemiskinan, antara lain : (1) menghapuskan kemiskinan; (2) mengentaskan kemiskinan; (3) menghilangkan kemiskinan; (4) menanggulangi kemiskinan; (5) memerangi kemiskinan dan (6) mereduksi/mengurangi kemiskinan. Padanan kata-kata kemiskinan di atas menunjukkan bahwa kemiskinan seolah-olah dianalogikan sebagai sebuah aib. Apabila kemiskinan dianggap sebagai aib, maka seluruh definisi tentang kemiskinan, akan cenderung dipadankan dengan kata kerja aktif seperti menghapuskan, mengentaskan, menghilangkan, menanggulangi, memerangi hingga mereduksi.

Selanjutnya..

Tulisan tersebut secara lengkap dapat diakses di www.kalteng.go.id


THE BOOK OF THE CITY OF GOD

"Though there are very many nations all over the earth, ...there are no more than two kinds of human society, which we may justly call two cities, ...one consisting of those who live according to man, the other of those who live according to God ....

To the City of Man belong the enemies of God, ...so inflamed with hatred against the City of God." (qoutes from St. Augustine)

Contact
riomigang@yahoo.com
rose149@yahoo.com
mriiy@yahoo.com