Thursday, May 22, 2008

KEBUDAYAAN & ARSITEKTUR: REFLEKSI 2008 (seri 2)

Berikut file sambungan dari tulisan sebelumnya..

Hal tersebut mau tidak mau mengkaitkan eksistensi manusia dengan kebudayaannya. Di dalam pandangan teologi Reformed Injili, manusia adalah ciptaan tertinggi nilainya di banding ciptaan yang lain. Manusia dicipta oleh Pencipta dengan prinsip penciptaan sesuai peta dan teladan Allah Pencipta (imago Dei). Point krusial inilah yang langsung membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya, yakni adanya unsur beragama dan adanya unsur berbudaya (Tong, 2007). Manusia memiliki kemampuan untuk mencipta sesuatu, berinovasi, berkarya, dan memperkembangkan potensi bahkan lingkungannya secara maksimal. Westminster Confession secara gamblang dan tuntas mengungkapkan bahwa manusia memang dicipta dengan satu tujuan penting yakni untuk memuliakan Allah Penciptanya.

Manusia membangun peradabannya, keluarga membangun klan, suku-suku membentuk sebuah bangsa, dan bangsa-bangsa membangun peradabannya masing-masing.

Sejarah kemudian membeberkan satu fakta penting, manusia yang dicipta baik adanya itu jatuh ke dalam dosa. Dosa di dalam bahasa aslinya tidak hanya dimengerti sebagai perbuatan jahat, namun lebih dalam dari itu, dosa (Yun:hamartia) berarti kehilangan, meleset dari target atau sasaran yang ditetapkan, dimana tujuan asli penciptaan manusia adalah untuk memuliakan Pencipta-Nya (theosentris) yang kemudian bergeser dan berusaha digeser manusia menjadi memuliakan manusia (antroposentris).

Francis A. Schaeffer mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya melakukan segala sesuatu atas basis kepercayaan (believe) yang dipegangnya, ”I do what I think and I think what I believe”. Karena itulah di dalam setiap zaman, ada karya arsitektur emas yang menjadi puncak identitas dan representasi dari zaman itu. Geist atau semangat zaman yang dipantik oleh filosofi yang menjadi presuposisi zaman itu menjadi penentu atas berbagai bidang hidup manusia. Jikalau kita menyebut arsitektur postmodern maka karya arsitektur yang dikenal nyaris selalu diidentikan dengan karya dekonstruksi dan minimalis ornamentasi, mengapa? karena para arsitek posmodern memegang filsafat Derrida termasuk Jencks bahwa meaning of life manusia kini adalah permainan bahasa sebagai dasar berlogika dan ekspresinya tercermin melalui rekonstruksi ulang dan mendenkontruksi tatanan lama yang dianggap cenderung absolut terhadap pakem dan langgam tertentu (lihat gambar di atas, sebuah model deconstructivist vision).

Jikalau kita menyebut arsitektur klasik maka tidak mungkin tidak mengenal arsitektur Greek, Byzantium, Renaissance, Gothic, Romantic, dan sebagainya yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yang tengah berkembang di masa tersebut.

Fakta kejatuhan manusia (fall) menjadi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia termasuk bidang arsitektur. Jikalau kemajuan (jikalau boleh disebut ”kemajuan”) dalam arsitektur saat ini dengan ditandai dengan bangunan tertinggi, terbesar di setiap wajah kota di dunia, maka fakta keberdosaan makin menunjukkan bahwa solusi arsitektur modern tersebut belum tentu mencegah manusia untuk terus sustain merusak alam dan tidak menghormati Penciptanya.